Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) berharap ada kepastian dasar hukum bagi SKK Migas lewat rencana revisi Undang Undang Minyak dan Gas Bumi (RUU Migas). Pasalnya, SKK Migas yang dibentuk sebagai pengganti BP Migas yang dibubarkan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2012 silam kini hanya mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres). Ketentuan tersebut tepatnya termuat dalam Perpres Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Hal tersebut diungkapkan Deputi Dukungan Bisnis SKK Migas, Murdo Guntoro dalam Webinar "Mencari Bentuk Ideal Lembaga Pengganti SKK Migas" yang diselenggarakan atas Kerja Sama FH UII dengan pusat Studi Hukum Energi (Pushenergi). Murdo Guntoro mengatakan, setiap model pengelolaaan lembaga dalam mengelola sumber daya migas memiliki masalah sendiri. Adapun pemerintah perlu mempertimbangkan dengan matang dalam membentuk lembaga khusus atau diberikan kewenanganya pada BUMN
"Kami mengharapkan pemerintah mempertimbangkan sendiri sendiri dengan mengukur kemapuan negara dalam pengelolaan sdm migas apabila negara memiliki kemampuan untuk mengelola sumber daya migas konsensi bisa diberikan oleh BUMN," kata Murdo melalui siaran pers, Minggu (6/12/2020). Jika pemerintah belum bisa mengelola sumber daya alam migas maka dinilainya bisa membentuk lembaga khusus yang mana ada kepastian hukum. "Namun, kalau pemerintah belum mengelola sendiri sumber daya alam migas maka konsesisnya diberikan BUMN dan badan usah lainnya," katanya.
Kendati demikian, mengelola industri migas tidaklah mudah, hal ini dikarenakan adanya tantangan pada sektor hulu yang mana masih perlu diperbaiki dalam menggenjot hasil migas. "Ini memiliki tantangan tidak mudah karena cenderung produkis migas menurun, tapi permintaan menjngkat. Hal inilah peranan lembaga mengelola migas bisa menyelesaikan hambatan pada industri migas," tutur dia. Sementara, Pengamat Ekonomi Energi UGM Fahmy Radhi menambahkan, bahwa SKK Migas hanya bisa dibubarkan melalui perubahan atau revisi UU Nomor 22 Tahun 2011 tentang Migas.
Menurutnya, saat ini yang terpenting adalah mengubah SKK Migas menjadi BUMN Khusus di sektor hulu migas. Fahmy bilang, selama ini kewenangan SKK Migas sangat besar dan memicu moral hazard. Salah satunya mengenai pengembalian cost recovery. “Kewenangan untuk pengembalian cost recovery, itu sangat rawan korupsi. Di awal awal itu hampir semua biaya yang dikeluarkan investor harus diganti dengan persetujuan SKK Migas dan itu banyak moral hazard,” ujar Fahmy dalam webinar FH UII, Sabtu (5/12).
Fahmy pun mendorong agar SKK Migas bisa menjadi BUMN Khusus. Ada sejumlah urgensi mengenai hal tersebut. Pertama, revisi UU Migas sudah menggantung di DPR RI selama tujuh tahun. Sehingga selama itu pula kepastian hukum SKK Migas belum jelas. Kedua, UU Cipta Kerja tidak mengatur penggantian SKK Migas menjadi BUMN Khusus.
Menurutnya, kekosongan perundangan tersebut menyebabkan ketidakpastian bagi investor dan peran SKK Migas tidak optimal. “Dengan BUMN Khusus, SKK Migas akan lebih lincah, karena dia bisnis yang mengelola keuangan. Kalau sekarang ini semua cashflow ke Kemenkeu, dana yang digunakan juga dana APBN, harus mengajukan seperti kementerian lain, ini jadinya birokrasi, bukan bisnis,” jelasnya. Sementara itu, mantan Wakil Menteri ESDM Rudi Rubiandini juga mengusulkan adanya perubahan SKK Migas menjadi BUMN Khusus. Caranya yakni melalui revisi UU Migas.
“Tentunya harus dibereskan dulu UU nya, baru di Omnibus Law. Bagaimana sesegera mungkin UU 22 Tahun 2011 ini diperbaiki,” pungkasnya.